Salah satucontoh penyebaran kesenian Batik lansung dari keraton ke masyarakat luas adalah berdasarkan kejadian asal-usul Batik
Giriloyo. Konon, desa yang sekarang dikenal sebagai Wukirsari adalah
gabungan dari desa-desa kecil, yaitu Giriloyo, Pucung, Singosaren dan
Kedungbuweng (bertempat di Yogyakarta). Penduduknya
masing-masing mempunyai aktivitas tersendiri, terutama Giriloyo, Pucung,
dan Singosaren, sehingga desa-desa tersebut menjadi terkenal karena
keahlian yang dimiliki oleh penduduknya. Dalam hal ini Giriloyo terkenal
dengan batiknya, Pucung terkenal dengan kerajinan kulit dan anyaman
bambunya, dan Singosaren terkenal dengan gentengnya.
Asal usul batik tulis Giriloyo konon berawal bersamaan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri yang terletak di bukit Merak pada tahun 1654. Pada waktu itu, ketika Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) berniat membangun makam, beliau menemukan bukit yang tanahnya berbau harum dan dirasa cocok untuk dibuat makam. Namun, ketika pemakaman sedang dibangun, pamannya yang bernama Panembahan Juminah menyatakan keinginannya untuk turut dimakamkan di tempat itu.
Ternyata yang meninggal duluan adalah pamannya. Oleh karena itu, yang pertama kali menempati makam tersebut adalah pamannya dan bukan Sultan Agung. Sultan Agung pun kecewa karena sebagai penguasa atau raja seharusnya yang pertama kali dimakamkan di situ adalah dirinya. Untuk menetralisir kekecewaan, Sultan Agung mengalihkan pembangunan calon makam untuk dirinya di bukit lain yang oleh penduduk setempat dinamakan “Bukit Merak” yang berada di Dusun Pajimatan wilayah Girirejo.
Seiring dengan berdirinya makam
raja-raja di Imogiri maka perlu tenaga yang bertanggung jawab untuk
memelihara dan menjaganya. Untuk itu, keraton menugaskan abdi dalem
yang dikepalai oleh seorang yang berpangkat bupati. Oleh karena banyak
abdi dalem yang bertugas memeliharanya, sehingga sering berhubungan
dengan keraton, maka kepandaian membatik dengan motif batik halus keraton berkembang di wilayah ini. Kemudian, keterampilan membatik itu diwariskan kepada anak atau cucu perempuannya.Asal usul batik tulis Giriloyo konon berawal bersamaan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri yang terletak di bukit Merak pada tahun 1654. Pada waktu itu, ketika Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) berniat membangun makam, beliau menemukan bukit yang tanahnya berbau harum dan dirasa cocok untuk dibuat makam. Namun, ketika pemakaman sedang dibangun, pamannya yang bernama Panembahan Juminah menyatakan keinginannya untuk turut dimakamkan di tempat itu.
Ternyata yang meninggal duluan adalah pamannya. Oleh karena itu, yang pertama kali menempati makam tersebut adalah pamannya dan bukan Sultan Agung. Sultan Agung pun kecewa karena sebagai penguasa atau raja seharusnya yang pertama kali dimakamkan di situ adalah dirinya. Untuk menetralisir kekecewaan, Sultan Agung mengalihkan pembangunan calon makam untuk dirinya di bukit lain yang oleh penduduk setempat dinamakan “Bukit Merak” yang berada di Dusun Pajimatan wilayah Girirejo.
Seiring dengan pesanan keraton yang semakin banyak, sementara jumlah perajian batik
yang ada di Pajimatan terbatas (tidak memadai), mereka mendatangkan
tenaga-tenaga dari Giriloyo. Dan, bagi penduduk Giriloyo itu merupakan
suatu keberuntungan karena mereka bisa ngangsu kaweruh tentang batik
di Pajimatan sebelum mereka berusaha sendiri. Apalagi, pengerjaannya
dilakukan di rumah masing-masing. Artinya, kain yang akan dibatik dibawa
pulang ke Giriloyo, kemudian (setelah jadi) disetorkan ke Pajimatan.
Inilah yang kemudian membuat nama Giriloyo lebih mencuat ketimbang
Pajimatan.
Banyak motif batik yang di hasilkan di Giriloyo, motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Orang yang membatik tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para pembatik di Giriloyo khususnya dan Yogyakarta umumnya, seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian membatik tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.